Rabu, 05 Mei 2010

[Edisi Bujangan] Saya Bermimpi Saya Menikah « Muhammad Nikmatul Mu ...

Bismillaah

Untukmu sang Bunga MawarMasih dalam suasana “Happy Family Syndrome” yang sekarang ini sedang mewabah di kalangan pemuda-pemuda masjid, abisnya kalau ketemu sesama jomblowan, hahahaha, pasti ujung-ujungnya akan berakhir pada sebuah pertanyaan  “udah ada rencana buat nikah ?” atau kalau yang udah duluan nikah, pasti bakalan pamer dengan bilang “makanya, cepetan nikah!” (kalau untuk yang terakhir ini, saya cuma bisa mengelus dada sambil ngebayangin indahnya orang menikah)”. Hahay. Okey okey, yang namanya obrolan menikah, selalu saja menarik, apalagi buat saya yang sudah tidak muda lagi (baca: single, ganteng, dan memesona) hahahaha. Paling tidak, di usia saya yang menginjak kepala dua ini (21 tahun per 23 Juli 2010),  saya harus memiliki rencana untuk mempersiapkannya. Ya, ganteng-ganteng gini saya juga masih normal, punya impian bahwa saya akan menikah kelak. Sehingga perlu lah kiranya dibuat rencana-rencana agar saya menjadi lebih termotivasi meraihnya. Ya kan ?

Di usia saya yang tidak muda lagi, godaan berupa perempuan ternyata lebih dahsyat dari apa yang saya rasakan ketika masih bau kencur dulu.  Dulu, contohnya saat SMA, kalau ada perempuan yang memenuhi kriteria, belum ada tuh namanya pikiran mau menikahinya atau enggak. Tapi sekarang, ngeliat yang cantik dan shalihah sedikit aja langsung mikir : “Apa saya mampu jadi suaminya yah? Apa dia mau sama saya yah ? Apa yang harus saya persiapkan ya? Kapan saatnya yang tepat ? Di mana ? Bagaimana kalau dia menolak ? Wahh.. pokoknya seringkali bikin pusing dahhh…. Hehehehe. Anda pun pasti bisa menambahkan pertanyaan yang lebih banyak dari itu.

Dan kebetulan, beberapa waktu yang lalu saya sedang dilanda perasaaan ngebet menikah (lhah, emang sekarang gimana ? masih ngebet juga kan ?) Hahaha. Ya namanya udah jatuh cinta sama si doi, pasti pengennya tersalurkan dengan cara yang benar. Bukan dengan pacaran. Kenapa ? Kalau cinta kita tersalurkan ke dalam sebuah hubungan yang namanya pacaran, pasti gak ada untungnya, hanya buang-buang waktu saja. Beneran. Kenapa tidak dibenarkan pacaran ? Ya karena cinta dalam sebuah hubungan pacaran itu bukan cinta yang sebenarnya. Anda mencintai pacar Anda karena apa ? Apa yakin sudah memilih yang tepat ? Apa yakin Anda sudah siap mencintainya ? Apa yakin dia yang terbaik buat Anda ? Bagaimana kalau kenyataannya nanti berbeda ? Bagaimana kalau Anda menemukan yang lebih baik lagi ? Apa Anda harus berpaling ? Katanya cinta, tapi disuruh menikahinya kok malah garuk-garuk kepala ? Saya yakin, pertanyaan â€"pertanyaan ini masih banyak lagi dan tidak akan mampu dijawab oleh seseorang yang sedang dimabuk asmara oleh pacarnya.

Pacaran emang enak kok. Siapa bilang gak enak ? Ada yang merhatiin, ada yang nanyain kabar, ada yang setiap saat smsin, diajak kemana-mana juga mau,  pokoknya dunia serasa milik berdua dah. (curhat nih yee) Hahaha. Tapi, apa itu namanya cinta sejati ? Kayanya bukan deh. Orang pacaran itu cintanya cinta semu, karena bersifat sementpara. Ya namanya juga perasaan terlarang, kalau disalurkan ya akan menjurus ke arah yang terlarang pula. Dosa. Dan kalau bukan karena sekarang saya sadari kalau pacaran itu adalah perbuatan dosa dan sia-sia, mungkin dari kelas 3 SD dulu saya sudah bergonta-ganti pacar. Nyatanya enggak tuhh. Hahahaha. Saya pengennya langsung menikah saja. Biar aman.

Lanjut. Terus, menikah itu apa ? Apa sekadar ngajak seseorang ke penghulu minta diresmikan hubungannya, terus udahan? Ya gak lah. Pasti ada penjelasan yang dapat menggambarkan kalo pernikahan adalah sesuatu yang kompleks. Kalau yang saya pahami dalam pemahaman agama saya, yang namanya pernikahan itu sebuah kemuliaan. Seseorang, dengan pernikahan, bisa menyempurnakan separuh agamanya, meneduhkan hatinya, menjaga pandangan dan kemaluannya, melapangkan rizki, menaikkan derajatnya, dan keutamaan-keutamaan lain yang bisa didapat. Itulah kenapa saya pengen menikah (Anda juga kan?). Menikah bukan sekadar menjalani hidup bersama orang lain dalam sebuah ikatan, tapi prosesnya yang sungguh bermakna. Intinya, dalam ajaran agama yang saya anut, pernikahan adalah sebuah kemuliaan bagi seorang manusia. Betul begitu ?

Okey, kembali ke topik tentang impian saya menikah. Hihihihi. Dengan siapa saya akan menikah ? Siapa orangnya yang mau menyandang gelar sebagai Nyonya Fadly? Hahaha. Jadi begini, saya sih memimpikan bisa menikahi seseorang yang saya cintai. Ya ya lah, masa nikah sama orang yang gak dicintai, emang ada ? Eitts, cinta ? Apa maksudnya? Ya, saya ingin menikahi seseorang yang saya cintai dalam setiap keadaannya. Saya ulangi ya, biar jelas. Saya ingin mencintai seseorang dalam setiap sisi dirinya. Pada rupanya, saya cinta. Pada kepribadiannya, saya cinta. Pada keluarganya, saya cinta. Dan yang paling utama : pada kondisi agamanya, saya cinta. Mengapa faktor agama menjadi penentu yang utama ? Ya, benar. Karena saya ingin mencintai istri saya kelak, tidak hanya di dunia, tetapi juga menjadi pasangan  hidupnya di akhirat. Dan syaratnya ya saya harus mencintai istri saya karena kebaikan agamanya. Itu saja.

Terus apa lagi ? Jadi tulisan ini cuma mau bilang mimpi saya saja? Ya gak lah, saya juga punya strategi biar kiranya ALLAH mempertemukan saya dengan orang yang saya cintai sepenuh hati saya. Yang cantik rupanya, yang baik akhlaknya, dan yang shalihah. Ngomong-ngomong tentang istri shalihah, kaya tulisan saya sebelumnya, saya juga harus ngaca dulu lah. Kira-kira saya bisa gak yah dapet istri yang shalihah? Eh ya, sebagian orang bilang ; “saya mau donk instri yang shalihah, agar dia bisa mendekatkan saya sama ALLAH” . Sepertinya saya kurang sependapat dengan pernyataan ini. Yang namanya ketaatan kepada ALLAH itu ya wajib hukumnya. Gak pake syarat. Masa’ kalau dapat istri shalihah terus bisa taat, dan kalau gak dapet terus gak bisa / gak mau taat kepada ALLAH ? Kan kurang benar itu namanya. Ya kan? Jadi, mau dapat istri shalihah apa kagak, ketaatan kepada ALLAH itu mutlak hukumnya. Istri shalihah hanya bonus saja, adapun ketaatan  ya tetep kudu dilaksanain.

Beberapa waktu yang lalu saya mengenal seorang gadis yang menurut saya sungguh elok kepribadiannya. Sungguh memikat hati saya. Tak hanya itu, gadis itupun punya semangat yang tinggi untuk menjadi wanita shalihah.  Hingga akhirnya saya merasa saya menemukan ssok yang tepat. Namun, karena kami merasa belum saatnya untuk saling mencintai dengan cara yang benar, dengan cara yang dituntunkan agama Islam, makanya kami gak memberanikan diri untuk terus dalam sebuah hubungan yang terlarang itu. Toh kalau jodoh juga gak akan lari ke mana. Biarkanlah ALLAH yang menjaganya untuk saya (semoga) dengan penjagaan yang baik. Hahay. Kalau ujungnya putus kan justru akan menyakitkan. Ya kan ? Jadi, cintailah seseorang karena alasan yang  benar dan disalurkan dengan cara yang benar. Kalau belum siap buat itu, jangan main-main deh sama yang namanya cinta. Okey ?

Jadi udah pada dapet poin pertamanya ya, bahwa saya akan menikahi seseorang yang saya cintai dalam seluruh keadaannya. Apa adanya. Karena dengan hal itu saya akan bisa mencintai dengan tulus dan cinta saya tak akan tergoyahkan oleh badai apapun. Hahaha. Dan untuk mendapatkannya, saya harus berbenah diri, memperbaiki diri saya agar saya pantas dan layak untuk mencintai dan dicintai seseorang yang saya dambakan itu. Menjalani indahnya biduk rumah tangga yang bahagai dan menjadikannya seseorang yang menghabiskan sisa umur saya bersamanya. Aduhai indahnya.

Selanjutnya, kapan saya akan menikah ? Kalau tanggal tepatnya, hari apa, bulan apa, tahun berapa, saya masih merahasiakannya. Hahaha. Bukan bukan, murni karena saya sendiri belum tahu. Tapi, maksudnya adalah dalam kondisi kapan saya akhirnya memutuskan bahwa saat itu adalah saat yang tepat bagi saya untuk mengakhiri status bujangan saya ? Jadi begini, yang namanya memutuskan untuk menikah itu gak mudah. Gak kaya milih baju di Ramayana yang tinggal pilih aja. Beneran. Menikah itu butuh persiapan. Dan apakah saya sudah siap ? Kaya’nya belum deh. Lhoh kok belum ? Jadi udahan nih tulisannya dengan kesimpulan bahwa saya belum siap menikah? Ya gak lah. Ada alasannya mengapa saya belum siap.

Sekarang, saya masih berstatus sebagai mahasiswa. Artinya apa? Saya masih belum fokus jika harus “dipaksa” menikah. Kalo ditanya pengen apa nggak, ya jawabannya pasti pueennnggggeeeeeennn. Tapi masalahnya, siap apa kagak? Ya, saya masih mahasiswa dan artinya saya belum bisa hidup mandiri. Paling gak, saya masih harus minta duit ke orangtua setiap kali saya mau bayaran uang kuliah. Saya kenal beberapa orang yang memilih untuk menikah di saat masih kuliah. Ya itu pilihan mereka, yang menurut mereka baik dan menenangkan jiwa mereka. Tapi, kalau saya boleh memilih (boleh kan ya ?), saya memilih untuk menamatkan pendidikan saya dulu aja dehh, baru kemudian nikah. Saya pengennya fokus, artinya, nikah ya nikah, kuliah ya kuliah. Menurut saya gak bisa dilakukan berbarengan, apalagi masih belum mandiri. Jangan sampe saat menikah sementara masih kuliah, hanya bersandarkan pada sokongan dana dari “Yayasan Ayah dan Bunda” alias masih minta sama orang tua. Itu namanya gak bertanggung jawab. Benar begiu, kan ?

Bicara kesiapan seseorang untuk menikah, yang saya tahu dari ajaran Islam adalah bahwa seseorang harus dapat meberikan nafkah lahir dan nafkah batin bagi pasangannya. Lha ya, masa’ katanya udah nikah, tapi gak saling memberi, hidupnya sendiri-sendiri. Hahaha. Maksudnya, terutama suami, kebutuhan lahir dan kebutuhan batin harus dipenuhi saat seseorang memutuskan untuk menjalani kehidupan berumah tangga. Benar begitu ?

Bicara tentang nafkah lahir, definisinya ya gak jauh-jauh dari yang namanya pemenuhan kebutuhan jasmani. Bisa kasih makan tanpa ada kekurangan, bisa kasih hunian yang layak tanpa keterbatasan (walau awalnya ngontrak dulu ya neng) , bisa kasih pakaian yang layak. Pokoknya segala kebutuhan dunianya terpenuhi dengan baik lah. Saya sih bermimpi saya bisa kasih istri saya nanti kebutuhan-kebutuhan dunianya dengan baik. Kasih uang belanja bulanan yang cukup, kasih rumah yang bagus, kasih kendaraan yang bagiss, kasih pakaian yang bagus. Gitu. Segala hasratnya akan dunia terpuaskan. Hahaha. Ya itu, saya berharap nanti istri saya bisa terfasilitasi dengan baik dan hidup sejahtera aman, sentosa. Hehehe.

Jadi, sudah bukan jamannya lagi bilang ;”saya mau cari istri yang mau diajak miskin”. Menurut saya, gak ada tuh manusia yang mau hidup miskin. Lha wong tabiat manusia itu kalo udah dikasih satu lembah emas, dia bakal minta lembah yang kedua lagi kok. Eh ya, tapi jangan disalah artikan bahwa saya menganggap kemiskinan adalah sesuatu yang buruk. Hanya saja, kata nabi Shalallaahu’alayhi wasallam, menjadi seseorang yang kaya tetapi tetap bersyukur  itu lebih utama dibanding menjadi seseorang yang miskin tapi bersabar. Dan itu hanya keutamaan dari ALLAH saja, bukan ? Jadi pilihan utamanya ya tetep jadi orang kaya. Hehehe.


Dan apa upaya saya agar saya bisa menafkahi istri saya kelak dengan baik secara lahir ? Ya saya lulus kuliah dulu, menjalin relasi, kerja dengan penghasilan yang sementara cukup buat berdua dan memenuhi kebutuhan yang tadi saya sebutin.  Saya sih pernah ngitung-ngitung biaya yang saya butuhin buat menikah. Dan nominalnya puluhan juta rupiah. Buat acara pernikahannya, buat rumah yang akan kami huni, isi perabotan rumah buat makan sehari-hari. Banyak deh pokoknya. Intinya, saya ingin hidup mapan dulu secara lahir, baru saya merealisasikan mimpi saya untuk menikah.

Okey, nafkah yang harus dpenuhi selanjutnya adalah nafkah batin. Sebagian orang memaknainya dalam arti yang sempit saja bahwa nafkah batin adalah pemenuhan gairah seksual saja. Kalau masalah  itu mah, kita gak perlu repot-repot jadi manusia, jadi ayam pun bisa. Hahahaha. Lhah ya, namanya juga pemenuhan kebutuhan batin, ya definisinya lebih luas dari itu lah. Saya bermimpi saya bisa memenuhi kebutuhan batin istri saya, meneduhkan hatinya, menjadi panutan baginya dalam kondisi apapun, dewasa dalam bertindak, dan menjadi nahkoda biduk rumah tangga yang saya dan istri saya kelak akan jalani. Intinya, saya bisa menjaga rumah tangga saya tetap harmonis, sakinah, dan diliputi kebahagiaan. Karena untuk yang satu ini gak bisa dipenuhi  hanya dengan nafkah lahir saja. Betapa banyak orang kaya, tapi keluarganya amburadul karena tidak bisa menciptakan suasana hati rumah tangganya dengan harmonis ? Ya kan ? Jadi  ya harus seimbang agar nafkah batin dan lahirnya terpenuhi dengan baik.

Lantas, bagaimana kiranya agar saya kelak bisa menafkahi istri saya dengan nafkah batin yang cukup ? Dan menjadi sosok yang terbaik di matanya, satu-satunya? Tak ada kata lain adalah saya harus berbenah diri dan memperbaiki kondisi saya dari berbagai segi. Mental saya harus matang. Dewasa. Ya kan?. Lebih dari itu, karena istri idaman saya itu yang kaya tadi saya ceritain, ya saya harus mampu memiliki pemahaman agama yang baik, belajar agama dengan tekun, berakhlak yang baik, kepribadian yang baik. Selain itu juga saya harus menjadi imam baginya untuk mengarahkan rumah tangga saya ke dalam aturan Islam. Ya saya pengennya ya rumah tangga saya adalah rumah tangga yang Islami, biar barakah dan diridhai ALLAH. Semua orang juga pengennya gitu. Alangkah indahnya hidup berumah tangga yang diliputi keberkahan cahaya Islam. Hehehe.

Ya itu saja mungkin impian saya jika saya menikah kelak. Panjang yah? Sebenernya masih bisa lebih panjang lagi lha wong masalah nikah itu panjang dan kompleks dan kalau ditulis bakalan makan banyak kertas. Hahahaaha. Intinya, ya saya pengen nanti menikah dengan orang yang saya cintai dalam seluruh keadaannya, di saat yang tepat, di saat semuanya sudah siap, dan agar rumah tangga saya diliputi ketenangan, kebahagiaan dan ridha dari ALLAH subhanahu Wa Ta’ala di dunia dan di akhirat. Amiin.

Ditulis dalam suasana rindu akan datangnya kasih sayang seseorang.

—————————————————————————————–

Tulisan ini termotivasi oleh tantangan dari kawan Blogger saya, Abu Hanzhalah Ian Abdurrahman. Semoga ALLAH memudahkanurusannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar